Click Here to Back

(GoVlog-Umum) Kuliah Banyak Godaan

In Artikel on August 15, 2011 at 4:13 am

Oleh : Dzarin Givarian

Belajar berarti memberi kesempatan bagi persaingan sehat antara pengalaman lama dengan pengalaman baru dan antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Yang lama biasanya lebih memberikan rasa aman, tetapi tidak senantiasa menjamin kemajuan. Yang baru biasanya terasa asing dan tidak akrab, akan tetapi dapat menjanjikan pembaharuan
dan kemajuan.

Mengapa kita kuliah dan untuk apa kita kuliah ? Pertanyaan seperti ini teramat layak dan pantas disuguhkan kepada (kita) masyarakat Indonesia.

Alasannya sangat sederhana bahwa orang kuliah (khususnya kita orang Indonesia) selalu berarti berakhir dengan suatu pengharapan akan sebuah pekerjaan setelah selesai belajar dan meraih gelar, berijazah. Bagi kita kuliah adalah untuk bekerja, bukan sebaliknya bekerja untuk kuliah. Maka alangkah “bahagia”-nya jika setelah wisuda mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, sebaliknya. Alangkah “resah”-nya setelah kuliah tidak mendapatkan sebuah pekerjaan.

Septintas lalu sepertinya kuliah untuk kerja tentu saja tidak sepenuhnya dapat disalahkan, meski adakalanya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Tidak salah karena memang buat apa juga setelah belajar kalau tidak untuk bekerja. Buat apa pula setelah menimba ilmu sedalam-dalamnya kalau tidak dicurahkan pada suatu pekerjaan, apalagi pekerjaan tersebut tidak menghasilkan uang. Bukan kah kita kuliah dengan begitu banyak mengorbankan uang, menguras tenaga dan juga pikiran serta mengorbankan banyak tumpukan waktu. Dalam pikiran seperti ini maka tidak salah jika kuliah untuk kerja. Sekali lagi meski tidak benar.

Namun apa yang diharapkan ketika kuliah sungguh berbeda dengan apa yang terjadi dalam kenyataan setelah kuliah. Sebab pada kenyataanya setelah kuliah justru puluhan bahkan ribuan sarjana menganggur tidak mendapatkan pekerjaan. Dalam setiap tahunnya seluruh perguruan tinggi mengeluarkan wisudawan-ti berjumlah ribuan, sementara lowongan kerja (terutama PNS) amatlah sedikit. Yang lulus 5000 orang sarjana misalnya, lowongan PNS hanya menerima 5 orang pegawai. Dari 5000 sarjana berarti yang menganggur 4995 orang. Dipotong yang bekerja dibidang swasta juga tidak banyak menerima.

Dari 4995 pelamar pekerjaan misalnya, perusahan swasta hanya menerima 995 pegawai. Berarti sisa 4000 orang masih menganggur. Dipotong lagi untuk lowongan pekerjaan yang sama sekali tak berhubungan dengan ilmu dari kuliah 1000 pegawai. Berarti sisa 3000. Yang 3000 ini, 1500 orang bekerja berdasarkan relasi KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme) atau dalam istilah kita berdasar pada D3 (Sunda: Dulur, Deukeut, Duit). Yang 1500 berarti tidak ada pilihan lain selain harus menempuh pekerjaan serabutan atau culak-colek (suatu pekerjaan yang sangat tak menentu). Kerja culak-colek adalah suatu pekerjaan sekadar untuk mempertahankan hidup.

Dari skala seperti ini, maka berniat kuliah untuk kerja sangatlah tipis. Perbandingannya 0,10%. Jika cita-cita kuliah untuk bekerja maka kesempatan mendapatkan pekerjaan sungguh sedikit. Dari setiap tahun yang wisuda hanya 0,10% yang mendapat pekerjaan sebagaimana mestinya. Itu pun setengah dari 0,10% yang mendapat kerja adalah berdasar KKN atau D3. Masih ada kah yang mendapat pekerjaan secara murni berdasarkan skill dari menimba ilmu di kuliahan ? Jawabnya tentu saja ada. Ia hanya 1,5% dari 0,10% tadi. Di sini beratnya persaingan merebutkan 1,5% dari 0,10% oleh 5000 orang sarjana lulusan setiap tahun dari setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia dalam menempuh sebuah pekerjaan.

Berbeda dengan yang murni. Mereka yang memiliki Saudara (Dulur) dapat dipastikan tidak begitu sulit mencari kerja setelah kuliah. Demikian pula yang memiliki kedekatan (Deukeut) dan yang memunyai banyak uang (Duit). Karena saudara orang dengan mudah mendapat pekerjaan, sesuai mau pun tidak sesuai dengan pendidikan yang dijalaninya. Karena relasi kedekatan orang cenderung gampang menduduki pekerjaan strategis. Dan karena uang orang bisa saja membeli pekerjaan berapa pun harganya. Saudara, relasi, dan uang merupakan sesuatu yang paling nyata dan yang masih berlaku di Indonesia. Karena ketiga jalan ini pula seseorang dapat menjadi “pura-pura” dalam menimba ilmu di kampus.

Tak Hanya Pendidikan

Nampaknya repot juga seandainya setiap orang yang kuliah hanya untuk bekerja. Sebab harus demikian beratnya persaingan sementara lowongan sangat sedikit. Untung saja cita-cita orang kuliah tidak semuanya berkeinginan keras untuk bekerja, tetapi ada juga yang sebaliknya, bekerja untuk kuliah. Logika bekerja untuk kuliah sangat berbeda dengan logika kuliah untuk bekerja. Kalau kuliah untuk bekerja begitu berat dalam mendapatkan apa yang didambakannya kelak, maka bekerja untuk kuliah pun tidak demikian ringan dalam memperjuangkan cita-citanya. Hanya saja di dalamnya terdapat suatu kekuatan batin dalam menempuh hidup sebagai Human eksistensialistik; memilih kesetiaan dalam menempuh “sesuatu” yang tak pasti dari pada memasrahkan diri begitu saja terhadap “sesuatu” yang serba pasti.

Dalam pada itu, kita harus memahami bahwa disadari mau pun tidak, intisari pendidikan jelas adalah untuk perubahan. Orang setelah mengeyam pendidikan lama atau pun sesaat dapat dipastikan segera harus berubah. Berubah menjadi baik atau berubah menjadi buruk setelah belajar. Sebab buat apa pendidikan kalau juga tidak berubah, ke arah yang lebih baik mau pun ke arah yang lebih buruk. Pendidikan yang sebenarnya adalah pembelajaran sangat menentukan seseorang untuk mengubah dirinya (khusus) dan mengubah lingkungannya (umum). Sebab bagaimana pun juga suatu kekecewaan segera timbul ketika pendidikan sama sekali tidak mengubah peserta didiknya.

Perilaku Korupsi Kolusi dan Nepotisme adalah contoh baik dalam soal perubahan pendidikan yang buruk. Sedangkan sikap memertahankan sistem kekeluargaan tanpa terlanjur kepada nepotisme merupakan contoh perubahan dalam pendidikan yang baik yang mesti dipertahankan. Para elit yang terjebak menjadi koruptor ulung adalah orang-orang berpendidikan. Mereka pintar-pintar karenanya bergelar. Perilaku demikian justru terjadi setelah pendidikan yang dilaluinya. Tanpa pendidikan tak mungkin dapat korupsi hingga milyaran rupiah. Dan tanpa pendidikan juga tidak mungkin orang dapat berperilaku positif dalam dunianya.

Berbeda dengan perilaku positif karena pendidikan. Sikap sportif seorang dosen terhadap mahasiswa adalah contoh kongkrit dari hasil pendidikan yang berubah menjadi positiv. Sementara sikap curang dan licik, tak mau mengakui kekurangan, dan bahkan menutupinya dengan segala cara agar tersembunyi kekurangannya, juga contoh nyata dari hasil pendidikan yang kurang baik. Di sini problem penting menyoal Apakah pendidikan cukup untuk perubahan ? Jawabnya singkat. Ternyata tidak beres hanya dengan pendidikan. Memang benar pendidikan adalah untuk merubah, akan tetapi tidak benar jika selamanya pendidikan mengubah jelek menjadi baik. Tak selamanya pendidikan mengubah buruk menjadi baik, salah menjadi benar.

Leave a comment