Click Here to Back

Menguak Tabir ‘Kelam’ IPDN

In Berita Aktual on April 28, 2007 at 2:14 am

Oleh Ibn Ghifarie

Di tengah-tengah gencarnya pengusutan tuntas kematian Praja IPDN bernama Cliff Muntu. Belum membuah hasil menggembirakan. Terlebih lagi bagi keluarga korban.

Kendati masih di selimuti kabut tebal siapa pelaku mesteri pembunuhan Cliff Muntu sekaligus dalang intelektualnya. Namun, perilaku penyimpangan makin marak terjadi di Institut Jagal Jatinangor tersebut. Mulai dari menjamurnya tradisi free seks, akrab dengan obat-obatan haram sampai disinyalir menjadi sarang narkoba bagi daerah Sumedang.

’Ada wartawan yang tanya ke saya soal kebenaran adanya praja yang melakukan hubungan seks bebas, dan narkoba. Saya langsung minta mereka cek sendiri, dan ternyata itu memang benar,` kata Inu Kencana Syafiie

Dikatakan, indikasi seks bebas dan narkoba itu, bisa dilihat di kos-kosan praja IPDN yang berada di luar kampus. ‘’Praja kan tidak diizinkan punya kos di luar kampus. Banyak di antara mereka punya kos di luar kampus. Media sendiri yang membuktikan,’’ jelasnya. (Riau Pos, 25/04)

Sejak 2000-2004, kasus seks bebas yang melibatkan praja IPDN mencapai 660 kasus. `Ini gila sekali, karena dari 660 kasus ini tidak satu pun mahasiswa yang dikeluarkan. Karena bisa memberikan alasan,` ungkapnya saat di depan kamar mayat RS Hasan Sadikin, Jalan Pasteur, Bandung, Selasa (3/4/2007).

Data itu diperoleh Inu dari hasil riset terkait disertasi doktornya — yang belum disidangkan — di Universitas Padjajaran. Disertasi itu berjudul Pengawasan Kinerja STPDN Terhadap Sikap Masyarakat Kabupaten Sumedang.

Selain kasus seks bebas, Inu juga mencatat selama kurun waktu 2000-2004 terjadi 35 kasus penganiayaan berat. 8 Praja yang terkait kasus ini kemudian dikeluarkan. Tercatat 125 kasus narkoba dan 5 praja dikeluarkan, 9.000 kasus penganiayaan ringan, dan tidak ada satu praja pun yang dikeluarkan.

“Bayangkan penganiayaan ringan yang ada di bawah kendali pembinaan, siswanya tidak dikeluarkan,” tambahnya. (Detikcom, 03/04).

Tak hanya itu, upaya membongkar jaring-jaring kelam di IPDN kian gencar, bahkan Inu sendiri mengeluarkan buku berjudul IPDN Undercover; Sebuah Kesaksian Bernurani

Bila dulu media massa pernah digegerkan oleh Muamar Emka dengan Jakarta Undercover dan Surabaya Undercover. Tentunya, berdasarkan hasil penelitian seks party dan mendarah dagingnya kebiasaan minum-minuman serta mengkonsumsi obat adiktif di kalangan tertentu.

Kini, kebobrokan di sekolah jebolan pejabat mulai terbongkar dalam bingkai IPDN Undercover.

‘Dalam hidup yang akan sampai seratus
Tahun kenapa tidak kau terjang saja segalanya ini
Telan kepahitan tanpa peduli’
, demikian salah satu petikan puisinya.

Kendati terkesan ikut-ikutan Emka, pemilihan judul IPDN Undercover sendiri tidak terlepas dari tujuan pemasaran. ”Secara teori, mengambil salah satu bagian sebagai judul buku sah-sah saja,” diakui Asep Syamsu Romli, Manajer Syaamil Pustaka.

Namun bagi Inu, ”Saya dan IPDN tidak terpisahkan. IPDN-lah awal kepopuleran saya. Setelah itu, tidak sedikit yang mempertanyakan latar belakang saya, termasuk dari mana saya mendapat keberanian. Buku ini merupakan jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan itu,” paparnya.

`Hanya sepertiga isi buku itu saja yang mengulas tentang almamaternya tersebut`. Sisanya, Inu berkisah tentang biografi dan asal-mula munculnya keberanian dalam diri ”sang burung kenari” (Pikiran Rakyat, 28/04)

Tentunya, kehadiran buku diharapkan dapat mempercepat proses pembongkaran prilaku ganjil dan mengusut tuntas aksi kekerasan terselubung yang terjadi di IPDN.

Pasalnya, setiap kelaliman lambat laun pasti akan terkuak juga. Terlebih lagi bila seluruh elemen masyarakat yang mengangani kasus tak bernurani itu memegang prinsip ’Suara rakyat adalah suara Tuhan. Kezaliman harus dilawan, kebenaran harus ditegakkan. Itu prinsip saya` layaknya seorang Inu Kencana Syafiie dalam menegakan keadilan dan kebenaran di tanah IPDN. []

*Penulis Mahasiswa Studi Agama-Agama Fakultas Filsafat dan Teologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung dan aktivis LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu keIslaman) Bandung.

  1. Umumnya remaja atau orang yang menjelang dewasa, begitu hidup agak jauh sedikit dari orang tua (asrama/kost) mereka menganggap sebuah “kebebasan hidup” dalam arti sempit memungkinkan untuk dieksplorasi. Kecenderungan yang terjadi adalah sisi negatif dari sifat dasar manusia menjadi lebih tumbuh subur berkembang. Sehingga saya berpikir, telah menjadi sebuah eforia ketika sekelompok orang (praja) hidup dalam suatu komunitas yang difasilitasi secara istimewa dan diberi pilihan/janji untuk hidup dikemudian hari secara mudah serta layak. Terlebih lagi korps yang terbentuk bukan berangkat dari sebuah nurani kerakyatan untuk membangun bangsa namun eforia mengisi suatu tingkat jabatan dalam pemerintahan. Hanya saja, memang tidak semua buruk….tapi semua telah kelihatan tidak baik…ya institusinya ya prajanya.

Leave a reply to anto Cancel reply